HomeArtikelParenting Anak

Dampak Game pada Emosional Anak dan Cara Membatasinya

Dampak Game pada Emosional Anak dan Cara Membatasinya

Parenting Anak

Dampak Game pada Emosional Anak dan Cara Membatasinya

profile-Christovel Ramot

Penulis: Christovel Ramot

Rabu, 12 November 2025

Rating Artikel 0/5

|

0

Bagikan

Di era digital sekarang, banyak anak yang sejak usia sangat muda sudah familiar dengan smartphone, tablet, atau console game


Contoh kasus: seorang anak usia 9 tahun yang semakin sering bermain game online, kemudian ketika kalah atau diminta berhenti, tiba-tiba meledak marah, melempar barang, atau menolak makan malam.


Atau anak lain yang sebelumnya tenang, kini mulai lebih mudah tersinggung ketika diminta berhenti main game bersama teman-temannya. Ada juga anak yang di sekolah mendapat raport menurun karena kelelahan atau kurang konsentrasi lantaran bermain game hingga larut malam. 


Semua ini menunjukkan bahwa pola pikir dan emosi anak bisa benar-benar terpengaruh oleh kebiasaan bermain game.


Dalam artikel ini, kita akan mendalami: mengapa game bisa memengaruhi emosi dan pola pikir anak, bagaimana mengenali bila anak sudah kecanduan game, bagaimana membatasi dengan bijak, dan kapan harus mempertimbangkan konsultasi ke psikolog.


Baca artikel lainnya: Tips Menghindari Risiko Penculikan Anak: Panduan Orang Tua


Mengapa pola pikir anak bisa terpengaruh dari game yang dimainkan?


Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan mengapa permainan video (termasuk game online) dapat memengaruhi pola pikir, emosi, dan perilaku anak. Berikut rinciannya:


1. Eksposur konten dan pembelajaran perilaku


Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa paparan game kekerasan (violent video games) berhubungan dengan peningkatan agresi, pikiran agresif, maupun emosi yang lebih mudah meledak.


Anak yang terus-menerus mengulangi adegan kekerasan, menyerang musuh, atau kompetisi intens dalam game bisa jadi “terlatih” dalam mode reaksi cepat, menyerang balik, atau kurang toleran terhadap kekalahan atau larangan.


2. Pengaruh struktur game: kompetisi, frustrasi, reward


Game sering dirancang dengan mekanisme kompetisi ( memenangkan vs kalah ), “punishment” (kalah, restart, gagal ), dan sistem hadiah (“level up”, “loot”, “rank”). 


Faktor kompetisi dan frustrasi dapat memicu respons emosional: ketika anak kalah, mungkin timbul frustrasi, kemarahan, atau keinginan untuk “membalas”. Beberapa studi menunjukkan bahwa bukan hanya konten kekerasan saja, tapi juga kompetisi dan frustrasi dalam game yang bisa memicu agresi. 


3. Sistem dopamin dan kecanduan


Dalam studi-Indonesia juga ditemukan bahwa kebiasaan bermain game yang terus-menerus memperkuat jalur dopamin di otak, melemahkan sistem refleksi (self-control) dan memperkuat ‘reaktif’ daripada ‘reflektif’. 


Artinya, anak bisa makin aktif mencari sensasi, kesulitan berhenti, atau sulit menerima “tidak” ketika diminta berhenti.


4. Pengaruh waktu layar dan pengalihan aktivitas


Jika anak banyak waktu untuk bermain game, maka sedikit waktu untuk aktivitas lain seperti berinteraksi dengan teman sebaya secara nyata, olahraga, istirahat yang cukup, atau sekadar ngobrol dengan keluarga. 


Kurangnya keseimbangan ini bisa gampang menyebabkan perubahan emosi, misalnya anak menjadi mudah bosan, kurang toleran, atau gampang meledak ketika terganggu rutinnya.


5. Konteks sosial-emosional anak


Paparan game bukanlah satu-satunya faktor. Anak dengan temperamen mudah marah, kurang pengaturan emosi, lingkungan kurang pengawasan, atau model role-model yang agresif bisa lebih rentan efek negatifnya.


Beberapa penelitian menegaskan bahwa efek game berbeda antar individu, dan tidak semua anak yang main game menjadi agresif atau bermasalah. 


Dengan demikian, apabila anak bermain game intensif tanpa pengawasan, sering kalah/frustrasi, dan tidak punya aktivitas alternatif yang sehat, maka potensi pengaruh ke pola pikir dan emosi akan lebih besar.


Baca artikel lainnya: Pahami Golden Age Anak: Umur Berapa & Kenapa Sangat Penting?


Bagaimana cara mengetahui bahwa anak sudah kecanduan games yang dimainkan?


Mengenali kecanduan game (sering disebut “Internet Gaming Disorder” atau “Gaming Disorder”) pada anak penting agar bisa ditindaklanjuti lebih awal. Berikut beberapa tanda dan gejala yang bisa orang tua amati:


Tanda-tanda umum kecanduan game pada anak:


  • Anak menunjukkan keinginan kuat untuk bermain game secara berlebihan, sulit dikontrol waktunya. Studi di Indonesia: di kota Banda Aceh, 30,8% remaja mengalami gaming disorder. 
  • Anak terus bermain meskipun sudah tahu akibatnya (misalnya tidur terlambat, nilai sekolah menurun, kurang interaksi keluarga). 
  • Anak menunjukkan gejala “penarikan” atau “withdrawal” ketika tidak bermain: gelisah, marah, moody, atau mencari cara agar bisa bermain terus. 
  • Toleransi meningkat: anak butuh waktu lebih lama atau tingkat kesulitan lebih tinggi untuk mendapatkan “kepuasan” dalam game. 
  • Konflik dengan keluarga/teman akibat waktu game: menolak berhenti, berbohong agar bisa bermain, mengabaikan tanggung jawab sekolah atau rumah. 
  • Aktivitas sosial, sekolah, atau hobi lain menurun karena waktu yang banyak dihabiskan untuk game. Contoh: studi menemukan bahwa pada remaja Indonesia, kecanduan game dikaitkan dengan kecenderungan depresi. 


Beberapa indikator spesifik yang bisa orang tua perhatikan


  • Apakah anak sering mengeluh “hanya satu game lagi” walau sudah diberi tahu waktunya habis?
  • Apakah anak menjadi mudah tersinggung atau marah ketika dimainkan diminta berhenti atau kalah dalam game?
  • Apakah aktivitas sehari-hari (tidur, makan, interaksi keluarga, tugas sekolah) terganggu karena game?
  • Apakah performa sekolah menurun, atau anak lebih memilih bermain game daripada bergabung dengan teman atau melakukan aktivitas fisik?
  • Apakah anak menutupi waktu bermain game atau sering bermain di luar pengawasan sehingga orang tua tidak tahu berapa lama?


Jika beberapa tanda di atas muncul dan berlangsung dalam jangka waktu, maka besar kemungkinan anak sudah mengalami kecanduan game atau berada dalam risiko tinggi.


Studi lokal menunjukkan prevalensi cukup tinggi, misalnya satu studi menyebutkan sekitar 30 % remaja di Indonesia berisiko. 


Baca artikel lainnya: Sindrom Anak Perempuan Pertama, Dampak dan Cara Mengatasi


Bagaimana cara membatasi anak sudah kecanduan games yang dimainkan?


Orang tua memiliki peran sangat penting dalam membatasi, mengatur, dan membimbing anak agar bermain game tetap dalam batas yang sehat. Berikut beberapa strategi praktis yang bisa diterapkan:


1. Buat aturan dan rutinitas yang jelas


  • Tentukan waktu maksimal bermain game per hari, misalnya 1–2 jam untuk anak usia sekolah dasar.
  • Tentukan jam “mati layar” (screen-off) sebelum tidur agar anak punya waktu istirahat dan tubuh dapat pulih.
  • Atur aktivitas pengganti setelah bermain game, seperti membaca, bermain di luar, atau aktivitas kreatif bersama keluarga.


2. Pilih dan awasi jenis game yang dimainkan


  • Periksa rating usia game, konten kekerasan, mekanisme kompetisi tinggi, dan potensi kecanduan (loot boxes, micro-transactions).
  • Bermainlah bersama anak atau setidaknya bereksplorasi: tanya anak “apa yang kamu suka dari game ini?” sehingga orang tua bisa tahu konten dan mekanismenya. (Saran dari para ahli)
  • Batasi akses ke game yang kontennya sangat kompetitif atau kekerasan tinggi jika anak menunjukkan temperamen mudah tersinggung atau sulit berhenti.


3. Bangun komunikasi dan keterlibatan orang tua


  • Jadilah contoh: orang tua juga bisa mengatur waktu layar sendiri, memprioritaskan interaksi keluarga tanpa gadget.
  • Ajukan pertanyaan terbuka kepada anak: “Bagaimana perasaanmu setelah bermain game ini?” “Apakah kamu senang atau malah kesal?” Hal ini membantu anak menyadari emosinya sendiri.
  • Dengan berkomunikasi, orang tua dapat mendeteksi ketika emosi anak mulai berubah karena game: misalnya mudah marah, minder, atau menarik diri.


4. Aktifkan aktivitas pengganti yang menarik


  • Dorong anak untuk melakukan aktivitas fisik, olahraga ringan, atau bermain bersama teman di luar layar.
  • Libatkan anak dalam hobi kreatif (menggambar, musik, membaca) atau kegiatan sosial dengan keluarga/teman.
  • Buat “waktu bebas gadget” dalam rumah, misalnya hari tanpa gadget, piknik weekend, atau game bersama keluarga yang non-digital.


5. Terapkan konsekuensi bijak jika aturan dilanggar


  • Bila anak melewati batas waktu atau melanggar aturan, terapkan konsekuensi yang sudah disepakati bersama, misalnya waktu bermain dikurangi esok harinya.
  • Hindari punishment yang memunculkan konflik besar; lebih baik gunakan pendekatan konsisten dan penuh pengertian agar anak merasa dilibatkan, bukan dihukum keras.


6. Monitoring kemajuan dan evaluasi berkala


  • Catat perubahan: apakah emosi anak menjadi lebih stabil? Apakah performa sekolah membaik?
  • Bila aturan sudah diterapkan tapi tidak ada perubahan atau malah memburuk, mungkin perlu intervensi lebih lanjut.


Dengan diterapkannya langkah-langkah ini secara konsisten, orang tua bisa membantu anak mendapatkan keseimbangan yang sehat antara bermain game dan aktivitas lain yang mendukung tumbuh kembang emosional dan sosialnya.


Baca artikel lainnya: Mengenal Prinsip Parenting, Jenis & Tips Pola Asuh Terbaik


Kapan harus konsultasi ke psikolog tentang kelakuan anak?


Meskipun banyak anak bisa pulih dengan pengaturan di rumah, ada situasi yang menunjukkan bahwa diperlukan konsultasi ke profesional seperti psikolog atau psikiater anak. Berikut beberapa kondisi yang menunjukkan perlu bantuan profesional:


  • Anak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan dan berlangsung lama: misalnya agresi terus-menerus, melempar barang, melukai diri sendiri atau teman, atau mengancam orang lain.
  • Anak menolak berhenti bermain game meskipun sudah diberi aturan dan pengawasan orang tua, dan hal ini berdampak pada fungsi harian: sekolah, tidur, interaksi keluarga.
  • Anak mengalami gejala psikologis tambahan seperti cemas intens, depresi, isolasi sosial, atau menunjukkan kecenderungan menyendiri. Misalnya studi menunjukkan hubungan antara kecanduan game dan depresi pada remaja Indonesia. 
  • Anak mulai menunjukkan gejala fisik atau medis akibat bermain game berlebihan: misalnya kelelahan kronis, gangguan tidur, berat badan menurun atau pola makan terganggu.
  • Upaya pengaturan di rumah sudah dilakukan namun tidak membuahkan hasil dan malah memperburuk kondisi.
  • Orang tua merasa kewalahan atau tidak memiliki strategi yang berhasil, dan situasi menjadi konflik besar dalam keluarga.


Dalam hal-ini, profesional bisa membantu melakukan assessment lebih lengkap (misalnya untuk «gaming disorder», evaluasi emosi dan perilaku anak, serta rekomendasi intervensi). Pendekatan profesional bisa mencakup terapi perilaku, konseling keluarga, dan pengembangan pola pengasuhan yang lebih adaptif.


Artikel lainnya: 10 Ciri Anak Sehat Fisik & Mental, Panduan untuk Orang Tua


Bisa disimpulkan bahwa game bukanlah musuh utama dalam kehidupan anak, namun bila tidak diatur dengan baik, bisa menjadi salah satu faktor yang memengaruhi emosi dan pola pikir anak secara signifikan. 


Dari penelitian ditemukan bahwa paparan game terutama dengan konten kekerasan atau kompetisi intens, waktu bermain yang berlebihan, dan kurangnya aktivitas alternatif bisa meningkatkan risiko agresi, emosi yang labil, serta kecanduan. 


Oleh karena itu orang tua (hubungan Mama + Papa) perlu sigap dalam mengenali tanda-tanda, membuat aturan, dan membangun komunikasi terbuka dengan anak.


Bila anak sudah memenuhi beberapa kriteria kecanduan game atau menunjukkan perubahan perilaku yang serius, segera mempertimbangkan konsultasi ke profesional adalah langkah tepat. 


Untuk Mama dan Papa yang tertarik memperdalam topik lain seputar tumbuh kembang anak, gaya hidup digital, dan kesehatan keluarga, teruslah membaca artikel-artikel parenting Anak menarik lainnya. 


Dan jangan lupa, jika Kpoeple berbelanja produk dari keluarga KALBE, Kpeople bisa kumpulkan poin melalui aplikasi KPoin yang tersedia di App Store dan Google Play Store. Yuk download aplikasi KPoin di App Store ataupun Google Play Store sekarang juga!


Daftar Referensi dan Pustaka

  • Anderson, C. A., Gentile, D. A., & Buckley, K. E. (2007). Violent Video Game Effects on Children and Adolescents: Theory, Research, and Public Policy. Oxford University Press. 
  • Hull, J. G., Sargent, J. D., & others. (2018). Children’s Violent Video Game Play Associated with Increased Physical Aggressive Behavior. Proceedings of the National Academy of Sciences
  • Felemban, E., et al. (2023). View of Online Gaming Addiction as a Psychosocial Disorder in Adolescents. Temali: Jurnal Psikologi & Pendidikan di Era Digital
  • Zabrina, H. K. (2023). The Relationship Between Online Game Addiction And Depression Tendencies In Indonesian Adolescents: Online Game Addiction And Depression Tendencies. Indonesian Journal of Health Sciences Research and Development (IJHSRD), 5(1), 101-105.
  • Nugraha, YP., et al. (2021). Predicting Video Game Addiction: The Effects of Composite Regulatory Focus Theory and Interpersonal Competence. IGCJ: Indonesian Game & Culture Journal
  • Arnani, KDN. (2021). Gangguan Permainan Internet: Program Pencegahan pada Remaja di Makassar. Jurnal PROMKES, Universitas Airlangga. 
  • Gumelar, Y., et al. (2025). The Prevalence of Online Gaming Disorder among Adolescents in Indonesia. PENA NURSING, Unikal.
  • Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2000). Violent video games can increase aggression. American Psychological Association Press Release.

Komentar

empty-state-comment

Ayo, jadi orang pertama yang tulis komentar kamu di artikel ini!

Kamu akan diarahkan ke Aplikasi KPoin untuk berikan komen.