HomeArtikelKesehatan Anak

Dampak Stunting pada IQ dan EQ Anak, Riset Terbaru

Dampak Stunting pada IQ dan EQ Anak, Riset Terbaru

Kesehatan Anak

Dampak Stunting pada IQ dan EQ Anak, Riset Terbaru

profile-Christovel Ramot

Penulis: Christovel Ramot

Kamis, 20 November 2025

Rating Artikel 0/5

|

0

Bagikan

Stunting masih menjadi momok untuk pertumbuhan anak di Indonesia. Meski telah banyak intervensi, prevalensi stunting masih cukup tinggi. 


Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melalui hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 tercatat prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8 % pada tahun 2024.  


Namun angka ini masih menyisakan tantangan besar. Artinya hampir 1 dari 5 anak balita Indonesia mengalami tinggi badan kurang dibanding usianya. 


Mengapa hal ini menjadi momok? Karena stunting bukan hanya soal tinggi badan, tapi berdampak pada kualitas tumbuh kembang anak, termasuk kemampuan kognitif (IQ) dan kemampuan emosi sosial (EQ). Ketika generasi muda tumbuh dengan keterbatasan ini, potensi sumber daya manusia juga ikut terdampak. 


Artikel ini akan membahas secara rinci apa itu stunting, bagaimana pengaruhnya pada IQ dan EQ, gangguan fisik dan psikis lainnya, serta bagaimana pencegahannya, terutama melalui peran calon ibu dan ayah.


Apa Itu Stunting?


Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita, yakni ketika tinggi badan anak untuk usianya berada di bawah standar (height-for-age z-score < -2 menurut standar World Health Organization (WHO)). 


Penyebab utama dari stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan dan/atau pada 1000 hari pertama (masa hamil + dua tahun pertama kehidupan). Faktor lain juga berpengaruh meliputi infeksi berulang, sanitasi buruk, dan kondisi sosial-ekonomi rendah.


Salah satu dampak fisik langsung adalah pertumbuhan yang tertunda, tinggi badan rendah relatif terhadap usia, dan seringkali berat badan juga tidak optimal.


Data Kemenkes menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi penurunan signifikan, masih terdapat disparitas antar provinsi, dan wilayah-wilayah dengan pendapatan rendah mencatat prevalensi stunting yang lebih tinggi. 


Dengan demikian, stunting bukan hanya soal “anak pendek” tetapi soal gambaran bahwa anak tersebut selama masa kritis tidak mendapatkan optimalisasi nutrisi, kesehatan dan stimulasi tumbuh kembangnya.


Baca artikel lainnya: Ini Perbedaan Stunting dan Gizi Buruk, Serupa Tapi Tak Sama


Mengapa Stunting Sangat Memengaruhi IQ dan EQ Pertumbuhan?


Ada dua aspek yang penting di sini: IQ (Intelligence Quotient) yang merupakan ukuran kemampuan kognitif/logika, dan EQ (Emotional Quotient) yang berhubungan dengan kemampuan mengelola emosi, interaksi sosial, dan kecerdasan emosional.


IQ dan stunting


Studi cohort di India menunjukkan bahwa anak yang mengalami stunting persistennya (terus-menerus) pada 2, 5 dan 9 tahun memiliki skor IQ total dan verbal sekitar 4.6 poin lebih rendah dibanding yang tidak stunting. 


Meta-analisis dan studi lain menunjukkan bahwa stunting dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah, memori jangka pendek terganggu, kemampuan visual-spasial menurun, dan performa sekolah yang lebih buruk. 


Untuk konteks Indonesia sendiri, studi menunjukkan ada tren bahwa anak yang stunting memiliki skor kemampuan kognitif, motorik dan adaptif yang lebih rendah dibanding anak dengan pertumbuhan normal, meskipun beberapa hasil belum mencapai signifikansi statistik. 


Saat anak mengalami kekurangan gizi kronis, otak berkembang tidak optimal (termasuk perkembangan neuron, mielinisasi, koneksi sinapsis). Hal ini terutama kritis di 1000 hari pertama. Jika nutrisi makro dan mikro tidak cukup, stimulasi otak pun bisa terhambat. Akibatnya IQ bisa lebih rendah.


EQ dan stunting


Meskipun studi spesifik mengenai stunting dan EQ (kemampuan emosi-sosial) masih terbatas, tetapi dapat dijelaskan secara logis:


  • Perkembangan sosial-emosional anak dipengaruhi oleh kesehatan fisik (anak yang kurang sehat/kurang tumbuh dapat mengalami kelelahan, mudah sakit, hambatan dalam aktivitas sosial) dan kondisi psikologis (anak yang sering sakit atau mengalami hambatan tumbuh bisa jadi lebih mudah frustrasi, kurang percaya diri).
  • Stimulasi lingkungan seringkali juga terbatas pada anak-anak dengan kondisi kekurangan gizi, misalnya karena keluarga sibuk dengan kesehatan atau ekonomi, sehingga interaksi, bermain dan stimulasi emosional/lingkungan bisa berkurang.
  • Karenanya, anak yang stunting berpotensi punya kesiapan sosial-emosional yang kurang optimal, kemampuan mengelola emosi dan interaksi bisa tertinggal dibanding teman seusianya.


Dengan demikian, stunting dapat menjadi akar tantangan ganda, baik di ranah IQ maupun EQ yang kemudian mempengaruhi prestasi sekolah, interaksi sosial, dan perkembangan karakter anak.


Baca artikel lainnya: 11 Intervensi Gizi Spesifik Stunting: Apa Saja & Targetnya?


Gangguan Fisik dan Psikis Lain yang Disebabkan oleh Stunting


Selain berdampak pada IQ dan EQ, stunting dapat menimbulkan berbagai gangguan fisik dan psikis lainnya yang perlu mendapat perhatian.


Gangguan Fisik


  • Sistem imun yang melemah: Anak yang stunted lebih rentan terhadap infeksi karena gizi yang kurang optimal.
  • Tumbuh-kembang motorik tertunda: Studi menunjukkan perkembangan motorik dan kemampuan adaptif anak stunted cenderung lebih rendah dibanding teman seusianya. 
  • Risiko komplikasi jangka panjang: Anak yang stunted berpotensi memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit kronis di kemudian hari, seperti hipertensi, diabetes, obesitas (paradoks gizi ganda) ketika memasuki usia dewasa.
  • Pertumbuhan fisik yang tertunda: Tinggi badan rendah untuk usia, namun juga potensi catch-up (namun seringkali tidak optimal) sehingga mungkin sulit mengejar teman seusianya.


Gangguan Psikis / Perkembangan Sosial-Emosional


  • Penurunan kemampuan adaptasi sosial: Anak dengan keterlambatan pertumbuhan atau kognitif sering mengalami kesulitan dalam interaksi sosial di sekolah atau lingkungan sekitarnya.
  • Rendahnya prestasi sekolah: Karena IQ lebih rendah atau perhatian/stimulasi kurang, maka prestasi akademik bisa tertinggal, yang kemudian mempengaruhi kepercayaan diri dan motivasi anak.
  • Gangguan emosi: Anak yang merasa “tertinggal” atau berbeda bisa mengalami rasa minder atau frustasi, yang kemudian jika tidak ditangani bisa berdampak pada kesehatan mental.
  • Dampak generasi: Jika anak tidak mendapat stimulasi dan tumbuh kembang optimal, potensi produktivitas di masa dewasa dan kesejahteraan jangka panjang bisa terhambat — ini bukan hanya soal individu tetapi juga soal sumber daya manusia sebuah bangsa.


Dengan memahami bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang & multidimensi; fisik, kognitif, emosional, maka penting untuk melihat penanganannya secara holistik.


Cegah Stunting Dimulai Lebih Dini pada Perempuan dan Calon Ibu


Pencegahan stunting idealnya dimulai jauh sebelum anak lahir, mulai dari masa prakonsepsi, kehamilan, persalinan hingga 2 tahun usia anak (1000 hari pertama). Berikut langkah-kunci untuk perempuan dan calon ibu:


1. Pastikan status gizi sebelum kehamilan


Perempuan yang masuk kehamilan dalam kondisi gizi baik (misalnya berat badan ideal, tinggi badan memadai, tidak kekurangan zat besi atau mikronutrien) memiliki peluang yang lebih baik.


2. Konsumsi makanan bergizi seimbang selama kehamilan


Asupan protein, zat besi, asam folat, kalsium, dan mikronutrien penting lainnya akan mendukung pertumbuhan janin dan plasenta.


Baca artikel lainnya: 5 Contoh Menu PMT Stunting: Resep Bergizi & Praktis Dibuat


3. ASI eksklusif dan MPASI tepat waktu dan bergizi


Setelah lahir, ASI eksklusif 6 bulan pertama sangat penting, kemudian MPASI bergizi lengkap sejak 6 bulan hingga usia 2 tahun sangat menentukan tumbuh-kembang anak.


4. Cukup stimulasi dan lingkungan yang sehat


Nutrisi saja tidak cukup jika anak tidak mendapat stimulasi (bermain, berbicara, lingkungan aman) dan kesehatan serta sanitasi yang baik.


5. Pemantauan status gizi secara rutin


Pantau gizi anak melalui posyandu atau fasilitas kesehatan, penggunaan alat antropometri dan deteksi dini pada bayi/anak penting. Misalnya, Kemenkes mendorong pemanfaatan posyandu dan alat antropometri.

 

Dengan demikian, pencegahan stunting pada perempuan dan calon ibu adalah langkah krusial yang akan memengaruhi IQ, EQ dan kualitas tumbuh-kembang anak secara keseluruhan.


Baca artikel lainnya: Cara Mencegah Stunting pada Remaja Putri Sejak Dini


Cegah Stunting juga Tugas Calon Suami dan Calon Ayah


Peran calon ayah atau suami dalam pencegahan stunting seringkali kurang diperhatikan, padahal sangat penting, karena tumbuh-kembang anak adalah hasil kerja sama orang tua dan lingkungan keluarga. Berikut beberapa poin untuk calon suami/ayah:


  • Mendukung kesehatan istri/ibu: Ayah dapat ikut mendukung agar ibu menjalani kehamilan dengan baik, makan bergizi, kontrol kehamilan rutin, menghindari beban fisik atau stres berlebih.
  • Membantu menciptakan lingkungan rumah yang sehat: Menjaga sanitasi, kebersihan, air bersih, dan lingkungan yang bebas dari infeksi serta asap rokok, semua ini memengaruhi tumbuh-kembang anak dan risiko stunting.
  • Menjadi teladan gaya hidup sehat: Pola makan keluarga, aktivitas fisik, serta budaya stimulasi anak (baca bersama, bermain, berbicara) seringkali bergantung pada seluruh anggota keluarga, termasuk ayah.
  • Mendukung ASI dan MPASI: Ayah dapat membantu ibu dalam upaya ASI eksklusif (misalnya dengan memberikan dukungan emosional, logistik) dan kemudian MPASI berkualitas (menyiapkan makanan bergizi, mendukung jadwal makan anak).
  • Menyadari pentingnya tumbuh-kembang anak: Ayah ikut aktif memantau pertumbuhan anak, hadir dalam pemeriksaan kesehatan, memahami pentingnya stimulasi IQ/EQ, dan mengajak keluarga untuk aktif dalam proses tersebut.


Dengan demikian, peran calon ayah bukan sekadar “penyokong ekonomi” tetapi juga bagian dari fondasi tumbuh-kembang anak yang optimal.


Stunting lebih dari sekadar masalah tinggi badan rendah. Kondisi ini mencerminkan kegagalan tumbuh kronis yang terjadi sejak dalam kandungan hingga masa awal kehidupan anak, dan berdampak pada kemampuan kognitif (IQ), kemampuan emosi-sosial (EQ), serta perkembangan fisik dan psikis anak secara menyeluruh. 


Data dari Indonesia menunjukkan bahwa meskipun prevalensi stunting telah turun ke angka 19,8 % pada 2024, tantangan masih besar terutama di wilayah dengan kondisi sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang kurang mendukung.


Pencegahan stunting harus dilakukan sedini mungkin, mulai dari masa prakonsepsi, tumbuh kembang ibu hamil, ASI eksklusif, MPASI berkualitas, hingga stimulasi anak dan lingkungan yang mendukung. 


Peran perempuan (calon ibu) sangat krusial, dan peran calon suami/ayah juga sama pentingnya. Dengan keterlibatan aktif seluruh keluarga dan dukungan lingkungan, kita dapat memutus siklus stunting dan memastikan setiap anak Indonesia memiliki peluang tumbuh optimal, baik secara fisik, kognitif maupun emosional agar generasi masa depan bangkit dengan IQ dan EQ yang sehat, produktif, dan bahagia.


Dapatkan informasi lebih lanjut tentang kesehatan anak dengan mengunjungi Informasi seputar Kesehatan Anak Terbaru. KPeople dapat mengeksplorasi berbagai tips hidup sehat lainnya untuk si buah hati.


Jangan lupa, download aplikasi KPoin untuk mendapatkan promo menarik yang sedang berlangsung, baik dari produk kesehatan hingga pelayanan kesehatan dari Kalbe.


Melalui aplikasi Kpoin, KPeople dapat mengumpulkan poin dari setiap transaksi produk Kalbe dan menukarkannya dengan hadiah menarik seperti voucher belanja, saldo e-wallet hingga pulsa token listrik. Pelajari lebih lanjut Apa Itu Poin Loyalty Program Kpoin!



Daftar Pustaka


  • Mangunsong, R. R. D. (2025). Stunting and Its Implications on Cognitive Ability and Language Development: A Study in Karanganyar Regency. J Epidemiol Public Health, 10(02): 134-147. 
  • Koshy B., Srinivasan M., Gopalakrishnan S., Mohan V. R., Scharf R., Murray-Kolb L., et al. (2022). Are early childhood stunting and catch-up growth associated with school age cognition? Evidence from an Indian birth cohort. PLoS ONE 17(3): e0264010. 
  • Mangunsong, R., et al. (2023). Comparison of Cognitive Function in Children with Stunting and Undernutrition with Normal Stature. PMC Open Access. 
  • Kemenkes RI. (2025). SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8%. Jakarta. 
  • Kemenkes RI. (2024). MEMBENTENGI ANAK DARI STUNTING. Jakarta: Kemenkes. 
  • Kemenkes RI. (2023). Stunting – Ayo Sehat Kemenkes. Jakarta. 
  • BKPK Kemenkes RI. (2025). Potret Stunting di Indonesia. Jakarta.

Komentar

empty-state-comment

Ayo, jadi orang pertama yang tulis komentar kamu di artikel ini!

Kamu akan diarahkan ke Aplikasi KPoin untuk berikan komen.